RAKYAT.NEWS, JAKARTA – Aliansi Masyarakat Penggiat Lingkungan (AMPL) mendatangi kantor Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) untuk melaporkan sejumlah persoalan yang terjadi di Tempat Pengolahan Sampah Terpadu (TPST) Bantar Gebang dan Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Sumur Batu, Kota Bekasi.

Salah satu pokok laporan tersebut adalah hasil investigasi mandiri masyarakat terhadap pelaksanaan Perjanjian Kerja Sama (PKS) antara Pemerintah Provinsi DKI Jakarta dan Pemerintah Kota Bekasi terkait pengelolaan sampah di kawasan Bantar Gebang.

Hal ini disampaikan oleh Wandi Supardi, selaku Pembina Aliansi Masyarakat Penggiat Lingkungan (AMPL) di Jakarta, Selasa (11/11/2025).

“Laporan tersebut menyoroti sejumlah masalah serius,” ujar Wandi.

Menurutnya, beberapa isu utama yang diangkat meliputi luas lahan milik DKI Jakarta di kawasan TPST Bantar Gebang, praktik open dumping yang masih terjadi, serta pencemaran air limbah berdasarkan hasil uji laboratorium dari Sucofindo.

“Dampak kesehatan warga sekitar TPST Bantargebang dan TPA Sumur Batu, tidak adanya santunan kematian bagi warga terdampak, serta Tim Monev yang dinilai tidak berfungsi namun tetap dipertahankan,” ungkap Wandi.

Ia menjelaskan bahwa masyarakat sekitar TPA menghadapi dua ancaman besar setiap tahunnya.

“Saat kemarau, kami terancam kebakaran karena open dumping. Ketika musim hujan, ancamannya adalah longsoran sampah, selain bau menyengat gas hasil pembusukan sampah yang tak terkelola. Ini semua dampak dari pengelolaan sampah yang tidak sesuai aturan,” katanya.

Selain ancaman bencana, Wandi juga menilai kualitas lingkungan di sekitar lokasi terus mengalami penurunan. Air tanah yang menjadi sumber kebutuhan warga disebut sudah tidak layak konsumsi, sementara kondisi kesehatan masyarakat semakin mengkhawatirkan akibat paparan polusi udara dan air dari aktivitas pengelolaan sampah yang tidak optimal.