Liburkan Angkot Saat Nataru, Peneliti INSTRAN Nilai Kebijakan KDM Blunder
RAKYAT NEWS, JAWA BARAT – Peneliti Senior Inisiasi Strategis Transportasi (INSTRAN), Deddy Herlambang, mengkritisi kebijakan Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi terkait peliburan angkutan kota (angkot) yang beroperasi di kawasan Puncak pada akhir tahun 2026. Kebijakan serupa sebelumnya juga diterapkan saat perayaan Lebaran 2025.
Ia menilai, Gubernur Jawa Barat, Kang Dedi Mulyadi (KDM), dikenal luas karena kebijakan-kebijakannya yang bersifat populis. Rekayasa lalu lintas di jalur menuju Puncak (Kabupaten Cianjur) dan Kota Bandung pun kerap dilakukan demi menekan kepadatan kendaraan saat momen hari besar.
“Hal ini mungkin sangat populis untuk sopir tapi merana buat pengguna angkutan umum rutin tiap hari. Oleh KDM yang meliburkan angkot dianggap mampu mengurai kemacetan lalu lintas, padahal blunder,” ujar, Deddy kepada Rakyat News, Senin (29/12/2025).
Deddy menjelaskan bahwa pada masa libur Natal dan Tahun Baru (Nataru) 2025 dan 2026, angkutan umum di kawasan Puncak kembali akan diliburkan. Kebijakan serupa juga direncanakan berlaku di Kota Bandung.
“Setiap pengemudi angkot diganti kompensasi biaya Rp 500.000 setiap orang sopir,” terang, Deddy.
Menurutnya, upaya mengatasi kemacetan seharusnya dilakukan dengan memperbanyak dan mengoptimalkan layanan angkutan umum, bukan justru menghentikannya.
“Bila memang angkot dianggap biang kemacetan, berarti Pemerintah Daerah (Pemda) sendiri yang gagal mengatur atau mengelola angkot itu, bukan malah meliburkan angkot,” pungkas dia.
Ia juga mengungkapkan kekhawatirannya terhadap dampak kebijakan tersebut bagi masyarakat yang sehari-hari bergantung pada angkutan umum berbiaya terjangkau.
“Akhirnya mereka hanya menjadi korban kebijakan Pemimpin daerahnya. Apakah berwisata hanya menggunakan kendaraan pribadi saja? Tentunya banyak juga yang berwisata menggunakan angkutan umum,” lanjutnya.
Deddy menambahkan, kelompok masyarakat berpenghasilan rendah akan semakin terbebani jika harus beralih menggunakan transportasi daring yang biayanya lebih mahal.
“Bagi golongan masyarakat yang berpenghasilan minim tentunya akan selalu keberatan bila perjalanannya menggunakan ojek online atau taksi online,” tutup, Deddy.








Tinggalkan Balasan